Keadaan baligh menjadi fase bagi perantau kehidupan. Dimana
ia telah melepaskan masa tenang dibawah naungan orang tua. Dosa-dosa telah
ditanggung sendiri berbekal pelajaran menemukan jati diri di masa yang silam.
Umur dan mimpi jima’ adalah tanda bagi laki-laki, bahwa ia
sudah mempertanggungjawabkan dirinya sendiri dihadapan Allah SWT. Namun saat
ini, tak banyak pemuda yang tak siap menanggung beban berupa penderitaan dan
ujian di kehidupannya. Mereka merengek, berkeluh kesah kepada sang papi dan mami untuk beban
ekonomi dan beban moral, mental, dan intelektual. Hidupnya masih ingin
dibelikan ini dan itu, masih candu dunia anak-anak dengan permainan ini dan
itu, masih melakukan yang diharamkan Tuhan, dan memanggap dirinya masih muda.
Ah, mungkin mereka masih baligh secara fisik, namun mereka
masih belum memahami arti baligh secara sosiologis dan ilmunya, sehingga
saya istilahkan hal ini menjadi Telat Baligh.
Walaupun telat baligh, mereka tetap mendapatkan ganjaran dari Allah SWT atas
setiap perkara yang dilakukan (artinya tetap baligh).
Kita lihat kehidupan para sahabat Nabi yang siapkan diri
dalam segala kondisi untuk lebih lekas syahid di jalan Allah SWT. Mereka
memilih menderita di awal waktu dan tak pernah ragu bahwa kebahagian dan
kemenangan akan segera mereka raih. Ali bin Abi Thalib, Mush'ab bin Umair, dan
sahabat yang di usia sudah ikut dalam barisan dakwah, bahkan menjadi pemimpin
pasukan perang dan orang-orang yang bisa dipercayai.
Yang baligh mungkin lupa, surah pendek yang mereka hafalkan
saat masa sekolah paling dasar dengan terjemahannya : Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan yang ada di QS. Alam Nasyrah di ayat 5
dan 6 dengan bunyi yang berulang.
Mungkin itulah membuat mereka terjebak dalam pacaran,
kehidupan hedonis, dan jenis kehidupan yang tidak memiliki komitmen serta arah
yang jelas. Mereka lebih memilih pacaran, dari pada menikah muda. Memilih
santai dirumah menikmati game, android dari pada mencari pengalaman
dalam mendapatkan penghasilan. Lebih parah lagi, tidak ingin mempelajari agama sehingga ingin menghilangkan aktivitas dakwah selama hidupnya.
Setidaknya dari tulisan ini ingin saya sampaikan bahwa, Lekas Menderita maka akan Lekas Bahagia. Maka dalam setiap
perjalanan waktu yang dilalui, kapan dan dimana pun, pilihlah kehidupan dengan
tantangan dan rintangan. Terutama setelah baligh, maka kewajibkan untuk memulai
bertanggungjawab atas ekonomi, wawasan dan ilmu pengetahuan, serta keperibadian
yang berlandaskan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
SEMANGAT !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar